Desember 28, 2025

Refleksi Harlah ke-58 KOPRI: Meneguhkan Kaderisasi dan Gerakan Kader Perempuan untuk Peradaban Berkemajuan

KOPRI PC PMII Nganjuk

Tanggal 25 September 1967 menjadi tonggak sejarah penting bagi gerakan perempuan dalam tubuh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada momentum Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II PMII di Semarang, lahirlah Korps PMII Putri (KOPRI) — sebuah wadah strategis yang bukan sekadar pelengkap, tetapi lahir dari kesadaran historis bahwa kader perempuan membutuhkan ruang aktualisasi, pembelajaran, dan perjuangan yang khas sesuai konteks sosialnya.

Kini, di usia ke-58 tahun, KOPRI telah menjelma menjadi kekuatan besar yang mengakar di berbagai cabang, dari wilayah pedesaan hingga perkotaan, menjangkau lintas ruang dan merespons ragam dinamika kehidupan.

Perjalanan lebih dari setengah abad bukan tanpa tantangan. Ada pasang surut, namun juga capaian yang membanggakan. KOPRI hadir dengan identitas ganda: di satu sisi teguh memegang nilai keislaman dan keindonesiaan, di sisi lain terbuka pada perkembangan zaman dan kebutuhan gerakan perempuan yang progresif.

Sejak awal, KOPRI diposisikan sebagai bagian integral dari dinamika organisasi, bukan di pinggiran. Dari masa ke masa, kader perempuan PMII terus meneguhkan diri sebagai subjek perubahan—bukan sekadar mengikuti arus, tetapi turut membentuk dan mengarahkannya. Gerakan perempuan dalam tubuh KOPRI bukan gerakan instan, melainkan buah dari proses panjang yang berakar pada tradisi intelektual, spiritual, dan sosial. Karakter ini menjadikan kader perempuan PMII tangguh, baik di medan diskusi maupun dalam praksis sosial.

Kaderisasi: Jantung Gerakan

Momentum Harlah ke-58 adalah saat tepat untuk merefleksikan bahwa kekuatan sejati organisasi perempuan terletak pada kualitas kaderisasi. Tanpa fondasi kaderisasi yang kokoh, gerakan tidak akan mampu bertahan di tengah derasnya arus perubahan.

Sejak awal, kaderisasi di KOPRI bukan sekadar kegiatan formal. Ia menjadi ruang penguatan nilai, pengasahan intelektual, dan pembentukan kepemimpinan perempuan yang siap tampil di ruang publik. Kader yang lahir dari proses ini membawa identitas khas: berakar pada nilai keislaman, berorientasi pada keadilan, dan terbuka terhadap keberagaman.

Kaderisasi yang kuat menjauhkan gerakan dari simbolisme kosong. Ia harus terus berinovasi, menjawab kebutuhan generasi baru, tanpa kehilangan ruh perjuangan yang diwariskan pendahulu. Dari proses ini, lahirlah pemimpin perempuan yang tak hanya memahami isu kesetaraan gender, tetapi mampu mengintegrasikannya dalam kerja-kerja sosial nyata.

Menuju Peradaban Inklusif

Gerakan KOPRI tidak bisa dilepaskan dari misinya dalam membangun peradaban yang inklusif. Dalam konteks kemajemukan sosial Indonesia, inklusivitas bukan sekadar jargon—ia adalah kebutuhan mendesak. Kader perempuan KOPRI dituntut menjadi jembatan di tengah keberagaman, membangun narasi persatuan tanpa menegasikan perbedaan.

Perempuan KOPRI harus mampu hadir di ruang-ruang strategis, memastikan bahwa suara kelompok rentan tidak terpinggirkan, dan bahwa keadilan benar-benar menjadi pijakan bersama.

Namun, tantangan zaman terus berkembang. Kasus kekerasan berbasis gender yang masih tinggi, rendahnya partisipasi perempuan dalam politik, dan keterbatasan akses pendidikan di sejumlah daerah merupakan pekerjaan rumah besar. KOPRI tidak boleh abai. Gerakan perempuan sejati adalah gerakan yang menyentuh persoalan konkret masyarakat.

Kaderisasi harus diarahkan untuk melahirkan kader yang peka sosial, mumpuni dalam advokasi, dan memiliki kapasitas intelektual untuk menawarkan solusi.

Menjawab Tantangan, Melanjutkan Perjuangan

Sejarah mencatat bahwa setiap pencapaian besar lahir dari keberanian mengambil sikap. Di usia ke-58, KOPRI telah membuktikan keberanian itu. Namun perjalanan belum usai. Justru tantangan ke depan akan lebih kompleks.

Generasi baru membutuhkan ruang pengorganisasian yang lebih segar, metode kaderisasi yang adaptif, serta orientasi gerakan yang relevan dengan isu-isu global. Karena itu, kesinambungan kaderisasi menjadi krusial, agar setiap periode melahirkan regenerasi yang siap melanjutkan estafet perjuangan.

Usia ke-58 bukan sekadar angka, tetapi simbol kematangan gerakan. Kematangan ini menuntut kesadaran baru bahwa gerakan perempuan di tubuh KOPRI bukan hanya soal membela hak perempuan, tetapi juga tentang membangun peradaban yang adil dan manusiawi. Gerakan ini adalah warisan kolektif lintas generasi yang harus dijaga, dirawat, dan terus diperbarui.

Menyalakan Semangat, Merawat Warisan

Peringatan Harlah ke-58 menjadi ruang refleksi dan konsolidasi arah perjuangan. Ruang-ruang diskusi, forum kaderisasi, dan kegiatan sosial harus terus diarahkan untuk memperkuat kapasitas kader perempuan. Dari ruang-ruang ini akan lahir pemimpin-pemimpin yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya, tetapi juga berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

Akhirnya, perjalanan panjang KOPRI adalah bukti nyata bahwa ia bukan sekadar organisasi, tetapi rumah perjuangan, ruang pembelajaran, dan kawah candradimuka bagi kader perempuan. Di usia ke-58, harapan tertinggi adalah agar semangat progresif tetap menyala, kaderisasi terus diperkuat, dan gerakan perempuan ini semakin mampu memberikan kontribusi nyata bagi peradaban inklusif.

Dari Semarang tahun 1967 hingga hari ini, api perjuangan itu tak pernah padam — dan akan terus diwariskan ke generasi mendatang.

Penulis : Dyah ayu nur f

Editor : Dina Tia Fatikasari