IniAlasan Nahdlatul Ulama Tidak Terapkan Kalender Hijriah Global Tunggal

Nganjuk-
Nahdlatul Ulama (NU) tidak mengikuti wacana tentang penerapan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang kini tengah ramai dibahas di dunia Islam. Salah satu alasan utama adalah kesatuan hukum dan sistem rukyatul hilal yang menjadi dasar penentuan kalender Hijriah. Oleh karena itu, NU tetap konsisten menggunakan rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal bulan Hijriah.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) dalam sebuah webinar Falakiyah LF PBNU yang diadakan secara daring dan luring di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, pada Rabu (19/2/2025).
Dalam kesempatan tersebut, Kiai Salam, Wakil Ketua LF PBNU, menjelaskan bahwa NU sejak awal berdiri tidak tertarik pada konsep ittihadul mathali’ atau penyatuan kesatuan wilayah hukum dalam penetapan kalender Hijriah global. “Dari awal berdiri hingga kini, NU tidak pernah tertarik pada ittihadul mathali’,” kata Kiai Salam.
Kiai Salam lebih lanjut menjelaskan bahwa NU telah menegaskan sejak tahun 1954 bahwa penetapan awal bulan Hijriah, termasuk pengumuman awal Ramadan dan Syawal, tidak boleh berdasarkan sistem hisab yang mendahului pengumuman resmi dari Departemen Agama.
“Jika penetapan awal bulan menggunakan rukyatul hilal atau istikmal (penggenapan bulan), maka itu sah,” imbuhnya.
Hal ini mengacu pada ajaran yang berlaku dalam sistem penetapan kalender Hijriah di NU, yang berfokus pada rukyatul hilal.
Pada Muktamar NU ke-30 di Lirboyo, tahun 1999, ditetapkan bahwa umat Islam di Indonesia serta pemerintah Indonesia tidak boleh mengikuti penetapan kalender hijriah internasional atau global. Sebaliknya, umat Islam di Indonesia dianjurkan untuk merujuk pada wilayah negara Indonesia sebagai referensi penentuan awal bulan.
“Indonesia tidak berada dalam kesatuan hukum dengan negeri-negeri yang mengalami rukyat,” tegas Kiai Salam.
Sejalan dengan penjelasan Kiai Salam, Anggota LF PBNU Khafid mengungkapkan bahwa KHGT muncul dari pertemuan para pakar fiqih, astronomi, dan pemerhati kalender Islam di Istanbul, Turki, pada tahun 2016.
Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah penyelarasan sistem KHGT. Khafid mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab dalam mengatur sistem global semacam ini, yang menurutnya masih sangat jauh dari realisasi.
“Jika kita berbicara soal mathla’ global ini, pertanyaannya adalah siapa yang akan menjadi otoritas dalam hal ini? Negara mana yang akan mengkoordinirnya?” ujarnya.
Khafid menambahkan bahwa sistem kalender hijriah global hanya dapat terwujud jika didukung oleh kekuatan otoritas yang memadai. Ia merujuk pada contoh sejarah penetapan kalender hijriah yang dilakukan oleh Umar bin Khatab sebagai khalifah.
“Artinya, untuk memperlakukan suatu sistem, itu memerlukan otoritas yang jelas,” tegas Khafid.