Mbah Canthing dan Jejak Nasionalisme Laskar Diponegoro

Oleh: Mukani
Pengurus LTN PWNU Jawa Timur (2018-2023 dan 2024-2029)
Perang Jawa meletus antara tahun 1825-1830. Perang Jawa disebut sebagai peristiwa perlawanan terbesar masyarakat Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro terhadap penguasa kolonial. Api semangat Islam di Indonesia, menurut Nugroho Notosusanto (2008: 229), akhirnya tidak dipandang sebelah mata lagi oleh Belanda.
Pangeran Diponegoro menggunakan dukungan dari rakyat yang tinggal di berbagai pelosok desa. Perang Jawa juga didukung berbagai elemen masyarakat Islam, terutama santri dan kiai. Tidak mengherankan jika selama lima tahun itu Belanda dibuat repot oleh laskar Diponegoro.
Belanda sudah mengerahkan pasukan sebanyak 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 prajurit pribumi. Itu ditambah dua per tiga dari 3.145 tentara bantuan yang didatangkan langsung dari Belanda. Tentu mobilisasi pasukan sebanyak itu membutuhkan biaya besar. Meminjam istilah MC Ricklefs (1993: 123), dana itu hanya bisa ditutupi melalui sistem tanam paksa Van de Bosch.
Peter BR Carey (2014: 338) menemukan sebanyak 108 kiai, 31 haji, 15 syaikh, 12 penghulu dan 4 kiai guru dari Yogyakarta bergabung ke dalam laskar Pangeran Diponegoro. Siasat licik yang digagas Letjen de Kock melalui “perundingan damai” sebagai upaya tipu daya (overriding) di Magelang berhasil menangkap Pangeran Diponegoro.
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, anggota laskar ini menyebar dan mendirikan basis-basis perlawanan. Mereka pada umumnya mendirikan masjid dan pondok pesantren yang jauh dari pusat-pusat tangsi Belanda. Mereka berpencar ke penjuru mata angin dengan merubah strategi perlawanannya untuk menyebar dan berdiaspora dalam meneruskan kaderisasi, melakukan perlawanan kultural seperti gerakan literasi dan memperkuat pemahaman keagamaan terhadap masyarakat.
Strategi perjuangan baru ini, diakui Zainul Milal Bizawie dalam buku Jejaring Ulama Diponegoro (2019: 283) akan memakan waktu lama. Hasilnya akan dipetik oleh para generasi penerus setelahnya. Perubahan ini sebagai suatu kewajaran, terlebih mayoritas sebagian besar pengikut dan pendukung Pangeran Diponegoro adalah kaum santri dan kiai.
Para sisa laskar Diponegoro banyak yang melarikan diri ke daerah Jawa Tengah sebagai Pinggiran Nagari. Sebagian ke arah barat sebagai Mancanegara Kulon dan sebagian lagi ke daerah Jawa Timur sebagai Mancanegara Wetan.
Mereka hijrah secara berkelompok. Pada beberapa lokasi singgah, terkadang salah satu anggota rombongan memilih untuk tetap tinggal dengan tujuan membuka lahan yang baru dalam berdakwah. Sedangkan rombongan lainnya meneruskan perjalanan.
Hal ini bisa dijumpai di beberapa daerah Jawa Timur. Khusus di Nganjuk, jejaring laskar Diponegoro ada Mbah Karimun di Desa Petak Bagor dan di Pesantren Miftahul Ula Nglawak Kertosono dengan sosok KH Abdul Fattah Jalalain. Termasuk Mbah Canthing yang kemudian tinggal dan wafat di Desa Mlorah Kecamatan Rejoso Nganjuk.
Babat Alas
Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PWNU Jawa Timur menggelar The 3rd International Workshop and Training on Islam Nusantara Reasearch Metodology, tanggal 25-27 September 2019. Kegiatan dilaksanakan oleh Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia (Aspirasi) di kampus Universitas Yudharta Pasuruan. Peserta yang hadir ada dari Mesir, Belanda, Inggris, Amerika, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Di samping perwakilan berbagai kampus dari seluruh pelosok Indonesia.
Penulis mempresentasikan artikel berjudul Mbah Canthing dan Jejak Nasionalisme Santri. Mengutip keterangan Murhardi/Partoko (2011), cerita kedatangan Mbah Canthing hingga sampai ke Desa Mlorah dibenarkan olehnya. Dia adalah mantan kepala Desa Mlorah selama dua periode, yang memperoleh cerita dari turun temurun. Cerita itu pernah dimuat surat kabar MediaRakyat Post edisi 15 bulan Oktober 2011 berjudul Penghulu Kerajaan Mataram, Hijrah Demi Dakwah.
Keberadaan Mbah Canthing diidentifikasi dan diyakini sebagai orang pertama yang tinggal di Desa Mlorah. Menurut Imam Hartoyo (2019), ketua MWC NU Rejoso yang juga warga asli Desa Mlorah, sebenarnya sudah mulai ada titik terang terkait sejarah awal mula Mlorah. Meski diakui Mlorah memang desa yang memiliki sejarah panjang.
Hal ini bahkan sudah pernah dijelaskan KH Abu Hakim Abdurrahman (almarhum), pengasuh Pesantren Sekapurtih Nganjuk. Pada suatu kesempatan, kiai kharismatik itu menjelaskan secara detail kronologi sejarah Desa Mlorah. Termasuk ringkasan tahun kisah munculnya nama Mlorah beserta nama-nama para tokohnya. Terutama sosok yang disebut sebagai wong ning pojok’an deso.
Nama asli Mbah Canthing adalah Tumenggung Sri Moyo Kusumo. Gelar tumenggung di depan namanya menunjukkan cukup tinggi derajat dari trah bangsawan Jawa Islam. Biasanya, gelar tumenggung dipakai seorang kepala daerah di wilayah yang relatif jauh dari ibu kota kerajaan atau wilayah perbatasan.
Sinonim untuk gelar ini dalam tingkat keningratan di Kerajaan Inggris adalah marquess. Jabatan itu setara dengan komandan batalyon dengan kekuatan 1.000 tentara.
Menurut KH Riyanto (2017), sebelum meletus Perang Jawa, Mbah Canthing adalah pegawai di Kerajaan Mataram Islam yang bertugas menikahkan warga. Istilahnya pada masa sekarang adalah penghulu. Baru ketika Perang Jawa meletus, Mbah Canthing masuk ke dalam barisan laskar Diponegoro yang berperang melawan pasukan kolonial Belanda.
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda dan dibuang ke Sulawesi, Mbah Canthing mengasingkan diri ke wilayah Jawa Timur. Saat itu, Mbah Canthing bersama ketiga temannya hijrah dari Jawa Tengah ke berbagai tempat berbeda.
Tujuannya untuk menghindari kejaran Belanda. Bahkan ada yang harus menyamar menjadi anggota rakyat biasa. Pada saat tertentu, bahkan harus pula mengganti nama aslinya. Tidak heran jika di kalangan masyarakat Desa Mlorah sendiri, jarang sekali yang mengetahui secara persis nama asli dari Mbah Canthing.
Dari ketiga temannya, sosok Mbah Canthing adalah yang paling senior. Bahkan dibandingkan dengan sisa-sisa anggota laskar Pangeran Diponegoro yang kemudian hijrah dan menetap di seluruh wilayah Nganjuk bagian utara, Mbah Canthing termasuk yang paling tua.
Keempat sahabat itu kompak untuk tetap melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Meskipun dengan strategi yang berbeda dan tidak melalui perang senjata. Keempatnya lebih mengutamakan penyebaran ajaran Islam melalui pendidikan. Melalui jalur ini, pada masanya nanti, para generasi penerus memiliki jiwa nasionalisme yang akan berhasil mengusir Belanda dari tanah Indonesia.
Spirit Nasionalisme
Mbah Canthing menikah dengan Mbah Sawi dari Bojonegoro. Mereka berdua punya empat anak, yaitu Ngalinem, Marijan, Madinem dan Simah. Di Desa Mlorah, para keturunan Mbah Canthing rata-rata sudah keturunan keempat dan kelima.
Kemungkinan besar generasi penerus Mbah Canthing tidak ada yang berani tinggal di bekas pekarangan miliknya. Para keturunannya kemudian bersepakat untuk mewakafkan tanah warisan itu bagi pengembangan Islam. Rencana itu dipelopori oleh Mbah Wariyem dan saudaranya, yang merupakan generasi ketiga dari Mbah Canthing, dari jalur Ngalinem. Tidak heran jika kemudian didirikan mushola dan beberapa ruang untuk mengaji. Bahkan sekarang secara resmi sudah berdiri lembaga Nahdhotul Muta’allimin pimpinan KH Riyanto di sebelah makam.
Makam Mbah Canthing pada 1990-an masih berupa dua batu nisan kuno. Di sebelahnya ada semacam sumur kuno yang jernih airnya. Menurut Damis (2019), keturunan kelima Mbah Canthing, di sebelah makam ada semacam sumur kuno yang airnya sangat jernih dan dingin. Lokasi sekitarnya masih dipenuhi pohon-pohon besar. Tapi sekarang entah kemana.
Perjuangan Mbah Canthing yang bergabung ke laskar Pangeran Diponegoro adalah pilihan hidup untuk membebaskan diri dan bangsanya dari kekejaman bangsa kolonial. Semangat nasionalisme dalam dirinya tidak bisa tergadaikan oleh apapun. Sebagai generasi penerus, sudah sepatutnya meneladani semangat ini dalam membangun bangsa Indonesia.*